Diantara sunnatullah yang berlaku di dunia ini adalah munculnya tokoh pada masa yang sesuai dengan kebutuhan zaman tertentu, sehingga pada setiap penghujung abad Allah mengutus seseorang yang akan membangkitkan agama untuk umat ini dan mengembalikan vitalitasnya.
Sejarah membuktikan bahwa, dalam diri umat yang tengah menderita sakit dan terlelap dalam tidur panjang, sebenarnya menyimpan potensi besar yang sewaktu-waktu, dikala sulit, dapat muncul sebagai kekuatan yang menggentarkan manakala ada seorang pemimpin yang menyadarkan, membangunkan dan membangkitkannya.
Imam Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Bumi ini tidak akan pernah sepi dari orang yang bangkit karena Allah dengan hujjah.” Bisa jadi tokoh yang hadir memenuhi kebutuhan zaman itu adalah seorang imam besar seperti Umar bin Abdul Aziz; bisa jadi seorang tokoh militer seperti Nuruddin Mahmud atau Shalahuddin Al-Ayyubi; bisa jadi seorang intelektual dan tokoh da’wah seperti Abu Hamid Al-Ghazali; dan bisa jadi seorang Murabbi ruhiyyah (guru spiritual) seperti Abdul Qadir Al-Jailani; bisa jadi seorang pembaharu fiqih, pendidikan, dan pembaharu pemikiran seperti Abu Al-Abbas Ibnu Taimiyah.
Masing-masing dari mereka melakukan pembaharuan di bidang-bidang yang dibutuhkan oleh zamannya dan lingkungan di mana mereka hidup.
Kondisi umat Islam, khususnya dunia Arab, pada penghujung abad dua puluh ini membutuhkan seorang pemimpin yang memiliki pemikiran jauh menembus cakrawala ke depan, kepekaan yang prima, iman dan keyakinan yang kokoh, tekad kuat dan mental baja, yang merasakan dan memahami apa yang dirasakan dan dibutuhkan umatnya, mampu mendiagnosa penyakit yang tengah dialami umatnya, menentukan terapi dan obatnya yang tepat, dan sabar mengikuti perkembangan proses pemulihan kondisi umatnya dari masa-masa sakit hingga masa sembuhnya dan kembali bugar serta memiliki stamina prima.
Kilas Balik Sejarah
Pemimpin yang dinanti-nantikan itu adalah Hasan Al-Banna. Seorang yang dikaruniai Allah banyak kelebihan sejak dini, faktor yang banyak mendukung kemampuannya dalam mengemban tugas-tugas da’wahnya. Lingkungan pedesaan di mana ia lahir dan dibesarkan penuh dengan nuansa keagamaan yang kental, jauh dari suasana kota metropolitan dan pengaruh budaya asing yang tidak islami.
a dididik oleh ayahnya, seorang ulama hadits yang menyusun dan mengkodifikasi ulang secara sistematis kitab Al-Musnad karya Imam Ahmad bin Hanbal , dan juga para ulama dan ustadz yang shalih, hingga telah mampu menghafal Al-Qur’an sejak usia belia, menghafal Hadits, Syi’ir, dan kitab-kitab matan dalam berbagai disiplin ilmu agama.
Sementara, dalam pembinaan ruhiyah-nya, sejak kecil ia telah bergabung dengan Thariqat Hushafiyah, sebuah thariqat sunniyah (sesuai dengan sunnah Rasul saw), yang berpengaruh pada pembentukan pribadi, watak dan karakternya. Namun ia merasa belum menemukan apa yang tengah ia cari.
Pada usia remaja, ia pindah dari kampung halamannya, Al-Mahmudiyah, ke kota Damanhur, ibukota propinsi Al-Buhairah, Mesir, untuk meneruskan studinya di kota tersebut; bertepatan dengan tengah memanasnya suhu politik dan pemikiran yang mengubah konstalasi sosial, politik, ekonomi, dan pemikiran dekade dua puluhan di Mesir.
Dengan ketajaman mata hatinya dan kecerdasan akal fikirannya, ia mengamati seluruh fenomena empiris di hadapannya, berupa krisis moral, sosial, ekonomi, politik, pendidikan, agama, dan pemikiran; yang tengah menggerakkan negerinya menuju lembah kehancuran dan kehinaan. Berbagai persoalan besar itu terus menggayuti fikirannya.
Mengapa umat Islam menjadi seperti ini? Siapa yang dapat menanggung beban mereka ? Bagaimana mengatasi ini semua?. Ia lalu menemui para ulama dan tokoh masyarakat untuk mencari solusi, akan tetapi hanya sedikit di antara mereka yang memberi respon positif, selebihnya tidak.
Da’wah yang Membangkitkan
Berangkat dari keprihatinannya dan keyakinannya bahwa metode ceramah di masjid saja tidak cukup untuk menyebarluaskan akidah dan fikrah Islam di tengah masyarakat, maka ia mulai melakukan pengorganisasian sekelompok mahasiswa dari Universitas Al-Azhar dan Darul Ulum yang berminat pada training penyadaran dan pelatihan da’wah, untuk kemudian diterjunkan langsung di tengah masyarakat.
Mereka melakukan pembinaan kader-kader da’wah ini di masjid-masjid. Dan ternyata, metode penyadaran ini membuahkan sukses besar di kemudian hari.
Sebab, langkah-langkah mereka dilanjutkan di tempat-tempat umum secara langsung berinteraksi dengan khalayak ramai, seperti di warung-warung kopi dan acara-acara tempat berkumpulnya masyarakat, dengan sasaran memperkokoh idealisme Islam dan menyebarluaskannya ke berbagai kalangan.
Hasan Al-Banna pun rajin membangun dialog dengan para pemuka agama dan tokoh-tokoh masyarakat. Ia berulang kali mengunjungi perpustakaan salafiyah yang dipimpin oleh Muhibuddin Al-Khatib, untuk membaca dan berdialog dengannya; bergaul dengan Rashid Ridha As-Suri yang dipandang sebagai pewaris pemikiran Muhammad Abduh serta penulis tafsir Al-Manar ; menjadikan Farid Wajdi dan Ashmad Taimur Pasha sebagai mitra dialog yang dikaguminya.
Sebab ia melihat bahwa mereka ini adalah tokoh-tokoh yang concern terhadap persoalan-persoalan Islam dan umatnya.
Upayanya untuk membangun dialog dengan berbagai kalangan akhirnya mengantarkannya berdialog dengan para ulama Al-Azhar, yang kala itu merupakan pilar-pilar pemikiran Islam. Al-Banna mengkritik perlawanan mereka yang tidak efektif dan sikap menyerah mereka terhadap arus westernisasi, missionarisasi, permisivisasi, dan hedonisasi yang telah mencabik-cabik bangunan masyarakat Muslim .
Akhirnya Al-Banna merasakan dengan sadar bahwa telah tiba saatnya untuk melakukan sesuatu dan memetakan dengan jeli berbagai persoalan dalam rangka menyamakan visi perjuangan. Ia melihat dengan jelas bahwa inilah saatnya untuk merumuskan langkah-langkah strategis guna menyelamatkan umat Islam, dan berperan nyata dalam upaya mewujudkan tujuan, misi, dan visi perjuangan.
Pada akhir masa studinya di Universitas Darul Ulum, pihak kampus meminta para mahasiswa untuk menulis makalah dengan tema: “Obsesi terbesar setelah menyelesaikan studi, dan sarana untuk mewujudkannya”.
Al-Banna mulai menulis apa yang ditugaskan oleh Fakultasnya, yang diantara cuplikannya ia menyatakan, “Aku berkeyakinan bahwa sebaik-baik jiwa adalah jiwa yang dalam memahami hakikat kebahagiaan, tolok ukurnya adalah sejauh mana ia dapat membahagiakan umat manusia dan dapat memberikan bimbingan kepada mereka.
Adapun perasaan gembira juga tergantung pada sejauh mana ia mampu menggembirakan mereka dan memberikan perlindungan kepadanya. Berkorban dalam rangka melakukan ishlah (reformasi, perbaikan) yang menyeluruh akan dihitung sebagai keuntungan dan ghanimah. Berjihad di jalan yang benar dan berhidayah –sekalipun sangat terjal dan banyak kesulitan yang harus dihadapi- merupakan hiburan dan kenikmatan sejati.”
“Aku berkeyakinan bahwa tujuan tertinggi yang wajib dituju oleh setiap insan dan merupakan keuntungan terbesar yang harus diraih adalah ridha Allah swt. Dengan itulah Dia akan memasukkannya ke dalam ‘pekarangan suci’-Nya, menyandangkan padanya ‘selendang’ kelembutan-Nya, serta menjauhkannya dari adzab-Nya.
Orang yang ingin meraih tujuan ini, di hadapannya terdapat dua jalan, yang masing-masing memiliki karakter dan keistimewaan. Ia dapat menempuh jalan mana saja yang dikehendaki.
Pertama, jalan tasawuf yang benar, yang tercermin dalam sikap ikhlas dan amal, serta memalingkan hati dari kesibukan dengan sesama makhluk, yang baik maupun yang buruk. Jalan ini lebih dekat dan lebih selamat.
Kedua, jalan ta’lim (pendidikan) dan irsyad (bimbingan) –yang sama seperti di atas- dalam hal sikap ikhlas dan amal, namun berbeda dalam hal bergaul dengan orang lain, mempelajari keadaan mereka, memahami perkumpulan-perkumpulan mereka, serta mencari tahu terapi macam apa yang mujarab untuk mengobati penyakit-penyakit yang tengah menghinggapi umat.
Ini lebih mulia dan lebih agung, karena Al-Qur’an menyarankannya dan Rasul pun menyatakan keutamaannya. Yang kedua ini lebih tepat, setelah aku menempuh jalan yang pertama, karena kemanfaatannya yang berlipat ganda dan keutamannya yang agung.”
Di antara kedua jalan di atas, jalan kedua inilah yang lebih wajib bagi para muta’allim (penuntut ilmu) dan yang terbaik pula bagi yang sudah ‘alim (berilmu).
‘Agar mereka dapat memberikan peringatan kepada kaumnya ketika mereka kembali ke tengah-tengah mereka, sehingga kaum itu menjadi berhati-hati.’ (At-Taubah : 122)”
“Aku berkeyakinan bahwa umatku –lantaran pergolakan politik yang menimpanya, pergeseran nilai-nilai sosial, serta pengaruh peradaban Barat, westernisme, materialisme, serta tradisi Eropa- menjadi jauh dari kehendak agama mereka dan tujuan Kitab mereka, lupa terhadap kemuliaan dan keagungan generasi sebelum mereka dan lupa terhadap peninggalan para pendahulu mereka. Akibatnya agama yang benar ini tercemari oleh nilai-nilai ideologi lain yang gelap dan asing. Hakikat agama yang putih cemerlang telah tertutup dari pandangan mereka. Demikian pula dengan nilai-nilai pendidikan dan pengajaran yang lurus tertutupi oleh tirai kerancuan dan kepalsuan yang dilatari oleh berbagai pemikiran aneh. Akhirnya, umat yang awam pun terperosok ke dalam gelapnya kebodohan. Para pemuda dan kaum berilmu juga tersesat dalam lembah kebingungan dan keragu-raguan, yang akibatnya mereka mewarisi aqidah yang rusak, mengalami skeptisisme dan kehampaan spiritual, dan keimanan bergeser menjadi kekufuran.”
“Aku juga berkeyakinan bahwa jiwa manusia pada hakikatnya penuh dengan cinta. Ia harus memiliki arah yang menjadi labuhan bagi curahan cintanya. Saya tidak melihat seorang pun yang lebih mulia dari emosi cintaku selain seorang sahabat yang ruhnya menyatu dengan ruhku, sehingga dengan sepenuh hati kuberikan cintaku padanya, dan kuutamakan ia untuk menerima persahabatanku ini.”
Al-Banna memandang bahwa untuk menyikapi kondisi seperti ini, misi utamanya adalah membalikkan arus negatif ini. Untuk mewujudkan itu ia harus menjadi guru, pendidik, dan da’i; berkhidmat membina para remaja di siang hari dan para orangtua mereka di malam hari. Dengan demikian ia dapat menyampaikan tujuan-tujuan agama kepada mereka semua, sebagai sumber kebahagiaan dan kesejahteraan dalam hidup mereka.